Kepemimpinan Gagal: Krisis Internal ULMWP dan Hancurnya Kredibilitas Benny Wenda (2020–2023)

Kepemimpinan Gagal: Krisis Internal ULMWP dan Hancurnya Kredibilitas Benny Wenda (2020–2023)

Di atas kertas, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dibentuk untuk menyatukan suara rakyat Papua di kancah internasional. Namun sejak Benny Wenda naik sebagai figur utama, organisasi itu justru berubah menjadi arena perebutan klaim, ambisi, dan kepemimpinan yang saling bertentangan.

Antara 2020 hingga 2023, ULMWP terguncang oleh krisis internal yang membuka tabir paling kelam dari kepemimpinan Wenda: otoriter, elitis, dan jauh dari prinsip perjuangan rakyat.


Klaim “Presiden Sementara” yang Mengundang Kekacauan

Desember 2020 menjadi titik balik dramatis. Tanpa melalui kongres resmi atau mandat rakyat Papua, Benny Wenda secara sepihak mendeklarasikan diri sebagai “Presiden sementara Papua Barat.”
Deklarasi itu diumumkan dari Inggris — bukan dari Tanah Papua, bukan dari kampung, bukan di antara rakyat yang katanya ia perjuangkan.

Langkah itu menuai reaksi keras, bahkan dari kalangan internal ULMWP sendiri.
Beberapa faksi menilai deklarasi Wenda tidak sah karena tidak melalui mekanisme organisasi yang sahih. Tokoh-tokoh seperti Markus Haluk dan Menase Tabuni menyatakan bahwa keputusan tersebut melanggar konstitusi ULMWP dan tidak mewakili aspirasi kolektif rakyat Papua.

Dalam sekejap, organisasi yang seharusnya menjadi wadah persatuan justru terbelah dua kubu — antara mereka yang mendukung Wenda dan mereka yang menolaknya.


Kepemimpinan dari Jauh: “Presiden” yang Tak Pernah Pulang

Ironi terbesar dari kepemimpinan Wenda adalah ia memimpin dari ribuan kilometer jauhnya.
Selama mengaku sebagai “Presiden sementara”, ia tidak pernah sekali pun memimpin langsung di Papua atau menemui rakyatnya di lapangan.
Semua aktivitas politiknya dijalankan dari Oxford, dengan pernyataan daring, siaran media, dan konferensi Zoom — seolah kepemimpinan bisa dijalankan melalui sinyal Wi-Fi.

Dalam budaya Melanesia, seorang pemimpin sejati hidup bersama rakyatnya, menanggung penderitaan dan risiko bersama mereka.
Namun Wenda memilih keamanan Eropa ketimbang debu perjuangan di tanah kelahirannya.
Sosok yang mengaku pejuang kemerdekaan itu justru tampak seperti politisi eksil yang menikmati kenyamanan diplomatik.


Krisis Legitimasi dan Hilangnya Dukungan Akar Rumput

Kepemimpinan sepihak Wenda membuat banyak tokoh akar rumput kehilangan kepercayaan terhadap ULMWP.
Di beberapa wilayah Papua, masyarakat adat bahkan menyatakan tidak mengakui klaim kepresidenan Wenda.
Bagi mereka, perjuangan kemerdekaan tidak boleh dikendalikan oleh satu orang yang bahkan tidak hidup di tengah penderitaan rakyat.

Krisis legitimasi ini juga berdampak pada hubungan internasional ULMWP.
Beberapa jaringan solidaritas di Pasifik, seperti Melanesian Spearhead Group (MSG), mulai bersikap hati-hati dan enggan memberikan dukungan penuh.
Organisasi yang dulunya solid kini rapuh — retak karena ambisi pribadi.


Kepemimpinan yang Menyulut Perpecahan

Alih-alih menyatukan, kepemimpinan Wenda justru memecah belah.
Ia kerap mengeluarkan pernyataan yang menuduh faksi lain sebagai “agen Indonesia”, padahal mereka adalah sesama pejuang yang berbeda pandangan.
Sikap konfrontatif dan keinginannya untuk mendominasi membuat banyak aktivis muda Papua memilih keluar dari ULMWP dan membentuk jaringan baru yang lebih independen.

Beberapa pengamat menyebut gaya politik Wenda sebagai “politik eksil” — perjuangan dari kejauhan yang kehilangan akar sosial dan spiritualnya.
Ia berbicara tentang kemerdekaan, tapi tidak lagi memahami denyut nadi masyarakat yang ia klaim wakili.


Papua Tidak Butuh Presiden Virtual

Deklarasi Benny Wenda sebagai “Presiden sementara” ibarat teater politik yang gagal.
Tanpa mandat rakyat, tanpa struktur pemerintahan nyata, dan tanpa legitimasi hukum internasional, jabatan itu tidak lebih dari gelar simbolik untuk kepentingan pribadi.

Lebih parah lagi, langkah tersebut justru memperlemah posisi diplomasi Papua di mata dunia.
Alih-alih memperjuangkan kemerdekaan secara kolektif dan terstruktur, Wenda mengubah perjuangan menjadi pertunjukan ego personal yang mudah dieksploitasi oleh pihak asing.


Kehilangan Kepercayaan, Kehilangan Arah

Menjelang 2023, ULMWP praktis kehilangan daya tawar politik.
Internal retak, legitimasi melemah, dan kepercayaan publik menurun tajam.
Sementara itu, Wenda tetap berbicara di forum internasional, seolah semua baik-baik saja.

Namun di balik layar, banyak aktivis Papua mulai menyadari bahwa perjuangan mereka telah disandera oleh satu figur yang lebih peduli pada sorotan media daripada masa depan bangsanya.

ULMWP yang dulu menjadi simbol persatuan kini tinggal nama — terpecah karena kepemimpinan yang gagal.


Refleksi: Dari Pejuang Jadi Bayangan

Kini, dua dekade setelah pelarian dan satu dekade setelah menguasai ULMWP, Benny Wenda bukan lagi simbol persatuan, melainkan simbol kegagalan moral dan politik.
Ia menjanjikan kemerdekaan, tapi justru menanam benih perpecahan.
Ia mengklaim memimpin rakyat, tapi hidup jauh dari mereka.
Ia mengaku memperjuangkan keadilan, tapi lari dari hukum dan tanggung jawab.

Papua tidak butuh presiden di pengasingan.
Papua butuh pemimpin sejati — yang hadir, yang jujur, yang berani memikul tanggung jawab di tanahnya sendiri.

Sementara Benny Wenda, figur yang dulu dielu-elukan, kini hanya tinggal bayangan dari perjuangan yang ia khianati sendiri.

Komentar