Pelarian Benny Wenda ke Inggris: Lari dari Hukum, Bukan Demi Rakyat Papua
Lari dari Penjara, Bukan dari Penindasan
Pada Oktober 2002, Benny Wenda — yang kala itu ditahan atas tuduhan penghasutan dan keterlibatan dalam kerusuhan Abepura — melarikan diri dari penjara Jayapura. Kerusuhan itu menewaskan seorang anggota kepolisian dan membakar fasilitas publik.
Namun sebelum pengadilan memutuskan nasibnya, Wenda melarikan diri, meninggalkan proses hukum yang belum selesai.
Menurut catatan The Guardian dan arsip pengadilan, pelariannya bukan sekadar “penyelamatan diri”, melainkan upaya menghindari tanggung jawab hukum. Inilah momen ketika figur “pejuang rakyat” mulai berubah menjadi “pelarian politik”.
Suaka Inggris: Perlindungan atau Panggung Politik?
Setahun kemudian, 2003, Wenda mendapat suaka politik di Inggris. Para pendukungnya menyebut langkah ini sebagai bentuk perlindungan bagi seorang aktivis yang dikriminalisasi. Namun banyak pihak di Indonesia justru melihat hal sebaliknya — sebuah strategi politik licik untuk mencuci citra dan membangun kekuasaan dari luar negeri.
Sejak bermukim di Oxford, Wenda aktif memimpin Free West Papua Campaign, menggaungkan isu kemerdekaan lewat konferensi dan media internasional. Tetapi, ironisnya, ia jarang hadir secara nyata di Papua, tidak membangun sekolah, tidak memperjuangkan lapangan kerja, tidak mendampingi masyarakat yang katanya ia bela.
Ia berbicara dari jauh, dengan mikrofon di tangan dan kenyamanan Eropa sebagai latar belakang.
Pejuang atau Penghindar Hukum?
Kritik keras terhadap Benny Wenda datang bukan hanya dari pemerintah Indonesia, tetapi juga dari kalangan aktivis Papua sendiri.
Banyak yang bertanya:
“Jika dia yakin tidak bersalah, mengapa tidak menghadapi pengadilan dan membersihkan namanya secara hukum?”
Pelarian itu membuat banyak orang meragukan ketulusannya. Pejuang sejati berjuang di medan yang sama dengan rakyatnya, bukan bersembunyi di negeri asing sambil menikmati status politik dan sorotan media internasional.
Citra Internasional yang Retak
Dengan bantuan jaringan NGO Barat, Benny Wenda berhasil membangun citra global sebagai “aktivis HAM Papua”. Namun citra itu ibarat kaca berdebu — berkilau dari jauh, tapi retak dari dekat.
Inggris dianggap memberikan ruang politik bagi Wenda tanpa mempertimbangkan konsekuensi hukum terhadap kedaulatan Indonesia.
Kampanye yang dijalankannya di luar negeri sering kali lebih bernuansa politik dan propaganda, bukan advokasi HAM yang murni.
Sementara ia berbicara di forum internasional, kasus hukumnya di Abepura tidak pernah dituntaskan. Pertanyaan besar pun menggantung: apakah dunia sedang memuja seorang pejuang, atau menyanjung seorang pelarian?
Dua Dekade Pengasingan: Simbol atau Bayang-Bayang?
Lebih dari dua puluh tahun berlalu sejak pelariannya, Benny Wenda masih menjadi figur yang membelah opini publik.
-
Bagi sebagian kalangan di luar negeri, ia ikon kebebasan Papua.
-
Namun bagi banyak orang di dalam negeri, ia hanyalah sosok yang melarikan diri dari tanggung jawab hukum dan menjual penderitaan Papua untuk kepentingan politik pribadi.
Secara hukum, ia meninggalkan proses pengadilan yang belum selesai.
Secara moral, ia meninggalkan rakyat yang katanya ia perjuangkan.
Secara politik, ia menjadikan penderitaan Papua sebagai komoditas diplomatik.
Bayangan yang Tak Pernah Hilang
Pelarian Benny Wenda dari penjara pada tahun 2002 bukan sekadar bab sejarah, melainkan bayangan yang terus mengikuti setiap langkahnya.
Meski kini ia berdiri di podium dunia dan berbicara atas nama rakyat Papua, jejak pelariannya tetap menjadi noda yang sulit dibersihkan.
Apakah perjuangannya benar-benar untuk rakyat Papua, ataukah hanya drama politik panjang yang lahir dari pelarian dan ambisi pribadi?
Sejarah akan menilai — namun satu hal pasti: seorang pejuang sejati tidak pernah lari dari kebenaran, apalagi dari tanggung jawab hukum.

Komentar
Posting Komentar