Jejak Politik Benny Wenda di Inggris: Dari Aktivis Papua ke Alat Politik Barat

Jejak Politik Benny Wenda di Inggris: Dari Aktivis Papua ke Alat Politik Barat

Dua dekade sudah Benny Wenda bermukim di Inggris — negeri yang kini menjadi panggung utama dari kampanye Free West Papua yang ia pimpin. Namun di balik simbol “aktivisme kemerdekaan”, muncul pertanyaan yang lebih tajam:

Apakah Wenda benar-benar memperjuangkan rakyat Papua, atau justru menjadi bagian dari permainan politik Barat?

Oxford, Kota Damai yang Melahirkan Ironi

Di Oxford — kota universitas yang tenang dan kaya sejarah — Wenda membangun basis gerakan politiknya. Di sanalah Free West Papua Campaign (FWPC) beroperasi, lengkap dengan situs web profesional, jaringan donatur internasional, dan dukungan LSM-LSM yang berafiliasi dengan kepentingan geopolitik Barat.

Namun ironi muncul: dari sebuah kota yang jauh dari realitas Papua, Wenda berteriak tentang “penindasan” dan “penderitaan rakyat”.
Ia berbicara di konferensi ber-AC, bukan di hutan Papua. Ia menggelar kampanye digital, bukan membantu masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan di pegunungan Jayawijaya.

Aktivismenya berubah menjadi branding politik.
Dan branding itu dibangun dengan dukungan finansial, media, dan jaringan diplomatik yang sebagian besar berasal dari luar Papua.

Jaringan LSM Barat: Dukungan atau Manipulasi?

Benny Wenda sering membanggakan dukungan dari lembaga-lembaga HAM internasional. Namun jika ditelusuri lebih jauh, sebagian besar LSM tersebut memiliki jejak politis yang bersinggungan dengan kepentingan Barat terhadap sumber daya alam dan posisi strategis Papua.

Papua bukan hanya soal kemerdekaan — ia adalah tanah emas, tembaga, dan energi.
Ketika Wenda berbicara tentang “kebebasan”, sebagian pengamat menilai bahwa ia sedang membuka pintu bagi pengaruh asing untuk masuk ke Papua dengan dalih kemanusiaan.

Bukan rahasia lagi, beberapa NGO pendukung Wenda memiliki hubungan pendanaan dengan lembaga yang juga mendanai gerakan politik di negara lain — mulai dari Asia hingga Afrika.
Dalam konteks geopolitik modern, “aktivisme” bisa jadi topeng bagi strategi pengaruh.

Diplomasi Bayangan di Balik Kampanye HAM

Benny Wenda sering diundang berbicara di forum internasional — PBB, parlemen Inggris, hingga universitas di Eropa.
Namun jarang dibahas bahwa banyak pertemuannya diatur oleh kelompok lobi politik yang berkepentingan menjaga citra Inggris sebagai “penjaga HAM dunia”.
Dengan kata lain, Wenda bukan hanya aktivis — ia telah menjadi simbol politik luar negeri yang dikendalikan dari balik layar.

Dalam berbagai kesempatan, Wenda menuduh Indonesia melakukan pelanggaran HAM, namun tidak pernah membahas pelanggaran kelompok bersenjata Papua terhadap warga sipil, guru, dan tenaga medis.
Sikap selektif ini menunjukkan bahwa narasi yang ia bangun bukan demi keseimbangan fakta, melainkan demi narasi tunggal yang menguntungkan pihak tertentu.

Rakyat Papua yang Terlupakan

Sementara Wenda berbicara di panggung-panggung global, rakyat Papua di lapangan masih berjuang untuk hidup layak.
Mereka membutuhkan sekolah, rumah sakit, listrik, dan keamanan — bukan hanya pidato kemerdekaan yang diucapkan dari ribuan kilometer jauhnya.

Banyak warga Papua bahkan tidak tahu siapa Benny Wenda sebenarnya.
Bagi sebagian mereka, nama itu hanya muncul di berita asing, bukan di ladang, bukan di kampung, bukan di kehidupan nyata.
Wenda menjadi “pahlawan media”, bukan pahlawan rakyat.”

Antara Perjuangan dan Kepentingan Pribadi

Dalam dua dekade terakhir, gaya politik Wenda semakin menyerupai seorang diplomat yang menikmati posisinya di panggung global.
Ia menghadiri pertemuan elit, berbicara di hadapan pejabat asing, dan membangun jejaring politik yang kuat — tetapi semua itu dilakukan tanpa legitimasi rakyat Papua.

Sejumlah tokoh lokal bahkan menolak klaim Wenda sebagai “Presiden sementara Papua Barat” yang ia umumkan sendiri pada tahun 2020.
Bagi mereka, gelar itu hanyalah pencitraan politik yang tidak mewakili aspirasi sesungguhnya dari masyarakat Papua.

Papua Bukan Komoditas Politik

Papua adalah tanah air yang penuh luka dan sejarah panjang — bukan panggung bagi politik personal.
Namun langkah Benny Wenda justru menunjukkan bahwa isu Papua telah dijadikan komoditas politik internasional.
Ia menjadi wajah dari sebuah narasi yang disusun dengan rapi: narasi penderitaan yang dijual untuk legitimasi dan pengaruh global.

Pertanyaannya kini sederhana:
Apakah Benny Wenda masih memperjuangkan Papua, atau Papua justru telah menjadi alat untuk memperjuangkan Benny Wenda?

Komentar